Iman Yang Bertanggungjawab

Iman yang bertanggungjawab

Yehezkiel 37:1-14

Virus corona telah menjungkirbalikkan kehidupan manusia dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Apalagi setelah korban menjadi lebih banyak. Padahal, panik membuat kita tidak rasional, sehingga kita terdorong untuk melakukan hal-hal yang justru berpotensi menghancurkan kita, menjadikan kita “lumpuh”, dan juga membuat sistem imun tubuh menjadi lemah, sehingga kita justru mudah diserang penyakit.

Bacaan kita menggambarkan kondisi bangsa Israel yang senada dengan kondisi kita saat ini. Mereka sangat putus asa dan tawar hati, karena negara serta bait Allah mereka sudah dihancurkan musuh, dan saat itu mereka tercerai berai dalam pembuangan, bahkan terpecah-belah sebagai dampak dari perseteruan di antara mereka sendiri pada masa lalu. Mereka sama sekali tidak melihat ada jalan keluar untuk bebas, bersatu kembali, apalagi membangun negara dan bait Allah yang sudah rata dengan tanah itu. 

Dalam penglihatan yang diterima Yehezkiel, kondisi mereka digambarkan sebagai lembah yang penuh dengan tulang-tulang kering yang tercerai berai dan berserakan dimana-mana. Sepertinya telah terjadi pertempuran dan orang-orang yang terbunuh dibiarkan begitu saja tanpa dimakamkan, sampai semua daging habis membusuk. Tulang-tulang itu bukan hanya amat banyak melainkan juga amat kering, karena sudah lama terpapar sinar matahari dan angin.  Sepertinya tidak ada harapan untuk dipulihkan kembali.

Namun, benarkah  bagi mereka tidak ada harapan lagi? Ketika Tuhan bertanya kepada Yehezkiel: “Hai anak manusia, dapatkah tulang-tulang ini dihidupkan kembali?”, Yehezkiel tidak berani menjawab bisa atau tidak, karena secara manusia memang tidak mungkin, tetapi bukankah Allah itu Mahakuasa? Maka ia pun menjawab: “ya Tuhan Allah, Engkaulah yang mengetahui!”

Kemudian Tuhan memerintahkan kepada Yehezkiel untuk bernubuat kepada tulang-tulang kering itu dan Tuhan menumbuhkan daging padanya, dan menutupinya dengan kulit, serta memberinya nafas hidup kepadanya, sehingga tulang-tulang kering itu menjadi hidup kembali menjadi pasukan tentara yang sangat besar.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?

  1. Sangat penting untuk bersikap realistis tetapi tidak membatasi kuasa Allah.

Dalam menghadapi bencana seperti covid-19 ini, manusia cenderung jatuh kepada dua ekstrim. Extrim yang satu, terlalu percaya diri, menganggap remeh apa yang terjadi, dan memiliki keyakinan yang konyol, bahwa karena kita adalah anak Allah dan  Allah itu Mahakuasa, maka jalani saja hidup ini seperti biasa dengan iman, Allah pasti memproteksi kita sehingga kita tidak ikut sakit. Bahkan ada orang yang menganggap gereja yang meniadakan ibadah formal di gereja dan menggantinya dengan ibadah di rumah masing-masing sebagai gereja yang kurang iman. Orang seperti ini sangat naif, karena dia tidak paham apa yang saat ini sedang terjadi.

Itulah yang terjadi dengan sebagian dari bangsa Israel pada awal terjadinya pembuangan itu. Mereka lebih percaya kepada para nabi palsu yang berkata bahwa, karena mereka adalah umat pilihan Allah maka Allah pasti menolong mereka dengan segera. Tidak lama lagi Babel akan dihancurkan, dan mereka akan kembali ke negaranya serta membangun kembali apa yang sudah runtuh itu. Ketika apa yang mereka percaya itu tidak terjadi, mereka menjadi kecewa dan putus asa, sampai akhirnya mereka menjadi seperti tulang-tulang kering itu.

Extrim yang satunya lagi, banyak orang menjadi terlalu takut, sehingga lupa, bahwa semua yang terjadi ada di bawah otoritas Allah yang Maha kuasa.

Amsal 24:10 berkata: “Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu.”

Orang yang bijaksana akan menggali informasi tentang masalah yang sedang terjadi sebanyak-banyaknya, mengkajinya dengan cermat, dan menyikapinya dengan sikap imam yang bertanggung jawab. Bukankah sebagai orang percaya kita telah dikaruniai iman dan akal budi?

Dalam kasus covid-19 ini, sikap iman yang bijaksana adalah mematuhi seruan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah dan saling menjaga jarak, agar sang virus tidak memiliki tempat berpijak untuk hidup lagi, sambil tetap percaya bahwa Tuhan berkuasa menghentikan penyebaran virus itu lebih dari apa yang bisa kita pikir dan harapkan.

Itulah yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang percaya kepada firman Tuhan. Mereka mendirikan rumah, membangun keluarga, berkarya bagi bangsa di mana mereka telah dibuang, mengumpulkan kembali firman Tuhan yang selama itu sudah mereka abaikan,  serta membangun sinagoge untuk mempelajari taurat dan beribadah kepada Tuhan, sambil tetap percaya bahwa suatu saat firman Tuhan itu akan digenapi. Semua yang mereka lakukan itu merupakan persiapan jika suatu saat nanti Tuhan membuka jalan, mereka akan pulang ke negaranya serta membangun kembali apa yang sudah runtuh itu. 

70 tahun kemudian Tuhan menggenapi firman-Nya dengan cara yang luar biasa. Tuhan memakai Koresy, seorang raja yang tidak mengenal Dia, mengeluarkan kebijakan agar mereka pulang ke negaranya, bahkan memfasilitasi semua yang mereka butuhkan untuk pembangunan kembali bait Allah dan tembok kota Yerusalem. Namun hanya orang yang memiliki sikap iman yang bijaksana yang dapat menikmatinya.

  1. Sangat penting untuk mencari makna dibalik semua yang terjadi

Tuhan tidak pernah bekerja tanpa makna. Dibalik setiap hal yang dia lakukan baik itu yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan selalu ada maknanya.

Bangsa Israel mengalami kehancuran karena mereka telah berpaling dari Tuhan serta menyembah berhala. Berkali-kali Tuhan mengutus nabi-nabinya untuk mengingatkan mereka tetapi mereka bukannya bertobat melainkan semakin menjauh dari Tuhan. Dari luar mereka nampaknya beribadah tetapi semuanya itu hanya formalitas belaka, sehingga Tuhan memandang semua yang mereka lakukan sebagai kejijikan.

Itulah sebabnya Tuhan membuat mereka menjadi seperti tulang-tulang kering yang berserakan, bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mendidik mereka takut akan Tuhan. Itulah yang difirmankan Tuhan kepada Yehezkiel: “…dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan.”

Demikian juga dalam kasus yang kita hadapi saat ini. Adalah sebuah kerugian besar, jika kita membiarkan semua itu terjadi dengan sia-sia tanpa kita menangkap maknanya. Karena itu marilah kita minta Tuhan menyingkapkan kebenaran-Nya atas semua yang terjadi dan memberikan kepada kita kemampuan untuk menangkap maknanya.

Mungkin seperti bangsa Israel, ibadah formal kita selama ini sudah menjadi rutinitas tanpa makna; apa yang dari luar nampak rohani mungkin sebenarnya hanyalah topeng untuk menutupi segala kebobrokan hati kita; mungkin juga kita sudah tidak lagi memiliki kerinduan beribadah bersama, atau ada hal-hal lain yang bila dibiarkan akan menjadi seperti borok yang membusuk dan menggerogoti jaringan yang masih sehat, karena itu Tuhan perlu “mengoperasi” hidup kita.

Apapun maknanya, kiranya kita bisa menangkapnya dan meresponiya dengan sikap imam yang bijaksana

  1. Sangat penting untuk bersabar menunggu waktu Tuhan

Tuhan tidak pernah terlambat tetapi juga tidak pernah terlalu cepat. Ia selalu memiliki jadwal waktu yang tepat sesuai dengan kebutuhan kita.

Bangsa israel harus menunggu selama 70 tahun karena itulah waktu yang mereka butuhkan untuk benar-benar bertobat dan bertumbuh penuh sehingga mereka siap untuk melanjutkan tugas mereka sebagai umat Allah.

Berapa lama kita harus bergumul dengan covid-19 ini? Semua tergantung dari berapa lama yang kita butuhkan untuk bertobat dan bertumbuh penuh, sehingga kita bisa berkarya sesuai dengan rancangan Allah bagi hidup kita.

Bagian kita adalah bersabar menunggu waktu Tuhan, sambil terus berbenah diri agar kita siap menyambut apa yang Tuhan sedang kerjakan bagi masa depan kita.

Selamat beribadah di rumah masing-masing. Tuhan memberkati.

Amin.